Pertama, mendorong kegiatan ekspor dari
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “UMKM kan susah ekspor sendiri.
Biasanya dia menjual ke perusahaan yang lebih besar untuk diekspor,” kata
Darmin dalam konferensi pers di kantor Presiden, Jakarta.
Pemerintah akan memberikan Kredit Usaha
Rakyat yang Berorientasi Ekspor (KURBE) dengan plafon pinjaman Rp 5 - 50
miliar. Kredit ini akan disalurkan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
(Indonesia Exim Bank) dengan bunga tetap sebesar sembilan persen per tahun.
Jangka waktunya tiga hingga lima tahun. (Baca: Paket Kebijakan X, Asing Bebas
Masuk 35 Jenis Usaha).
Kedua, fasilitas pengurangan bea dan pajak
untuk penerbitan Dana Investasi Real Estate (DIRE). Hal ini didorong oleh
perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pelemahan nilai tukar rupiah selama empat
tahun terakhir yang menyebabkan kegiatan usaha properti, khusus real estate,
menurun sejak 2014. DIRE diperlukan pelaku usaha dalam rangka penghimpunan dana
untuk perluasan usaha.
Selama ini hanya ada satu DIRE yang
diterbitkan sejak 2012. Ini membuktikan DIRE tidak menarik bagi investor. Salah
satu penyebabnya adalah pajak berganda dan tarif pajak yang lebih tinggi dari
negara tetangga. Pemerintah pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 200 Tahun 2015 yang menghapuskan pajak berganda dalam penerbitan DIRE.
Dalam paket kebijakan kali ini, tarif pajak
penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
dinilai terlalu tinggi akan dipangkas. PPh final diturunkan hingga 0,5 persen
dari sebelumnya lima persen. Sedangkan BPHTB diturunkan dari semula lima persen
menjadi satu persen bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE.
Ketiga, mempercepat pelayanan kegiatan
ekspor-impor. Kebijakan ini bertujuan memberikan kepastian usaha, efisiensi
waktu dan biaya perizinan, serta mengurangi waktu tunggu bongkar muat atau dwelling time. Melalui kebijakan ini, semua
kementerian dan lembaga (K/L) wajib menggunakan portal Indonesia National
Single Window (INSW) untuk pemrosesan perizinan.
Pada tahap awal, dilakukan model single
risk management dalam platform single submission antara Badan POM dengan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Upaya ini diperkirakan menurunkan dwelling
time terhadap produk-produk bahan baku obat, makanan minuman, dan produk lain
dari 4,7 hari akhir pada tahun lalu menjadi sekitar 3,7 hari pada Agustus
nanti. Penggunaan INSW akan diperluas bagi seluruh kementerian dan lembaga
dalam penerbitan izin ekspor-impor, sehingga mendorong kepatuhan Indonesia
Indonesia terhadap WTO Trade Facilitation Agreement menjadi 70 persen dan
mengurangi dwelling time menjadi 3 hari pada akhir 2017. (Lihat pula: Paket
Kebijakan Jokowi Jilid II Dinilai Lebih Fokus).
Terakhir, dalam paket kebijakan ke-11 ini
akan diterbitkan Instruksi Presiden untuk mempercepat kemandirian dan
peningkatan daya saing industri obat dan alat kesehatan. Saat ini terdapat 206
industri farmasi yang menguasai 76 persen pasar obat nasional. Namun industri
ini masih mengimpor 95 persen bahan baku obat. Sedangkan 95 industri alat
kesehatan hanya bisa menjangkau 10 persen pasar nasional. “Perlu diambil
langkah kebijakan yang terintegrasi dan lebih spesifik, yang melibatkan
dukungan semua pemangku kepentingan untuk mempercepat pengembangan industri
farmasi,” ujar Darmin.
Pemerintah akan mendorong pengembangan
riset dan kebijakan perdagangan dalam negeri yang mendukung pengembangan
industri farmasi dan alat kesehatan. Asing pun diperbolehkan masuk 100 persen
dalam industri bahan baku obat. Pemerintah juga akan menyusun kebijakan fiskal,
seperti fasilitas bea masuk, tax holiday, tax allowance, serta insentif di
Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri, dan Pusat Logistik Berikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar